JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) memberikan kebijakan pemutihan bagi ratusan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang membuka lahan di kawasan hutan. Total ada 436 perusahaan besar swasta (PBS) kelapa sawit, 184 di antaranya di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng). Total luasan lahan yang diputihkan mencapai 1.107.727 hektare.
Sayangnya, proyek pemutihan ini mengandung aroma korupsi. Kejaksaan Agung (Kejagung) sedang menyelidiki dugaan korupsi dalam proses pemutihan izin perkebunan sawit di kawasan hutan yang berlangsung pada periode 2005-2024.
Praktik pemutihan izin ini diduga menjadi celah permainan oknum pejabat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk memeras perusahaan sawit yang ingin memperoleh legalitas usahanya.
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menegaskan, pihaknya berhati-hati dalam menetapkan tersangka, mengingat kasus ini menyangkut ratusan perusahaan sawit yang beroperasi di kawasan hutan tanpa izin. Kejagung berkomitmen memastikan proses hukum berjalan tanpa menghambat kepastian usaha di sektor sawit.
“Identitas calon tersangka sudah ada, terutama dari pejabat Eselon I dan II KLHK. Namun, kami masih melengkapi bukti sebelum diumumkan ke publik,” kata Burhanuddin, dikutip dari laman infosawit, Selasa (4/3/2025).
Kasus ini berawal dari penggeledahan Gedung Manggala Wanabakti KLHK pada Oktober 2024. Salah satu pejabat yang telah diperiksa lebih dari tiga kali adalah Sekjen KLHK periode 2020-2024, Bambang Hendroyono, yang kini menjabat sebagai Penasihat Utama Menteri Kehutanan. Bambang saat itu memimpin Satgas Sawit, tim yang bertugas menangani pemutihan izin bagi perusahaan yang beroperasi di kawasan hutan tanpa izin.
Pemutihan izin ini merujuk pada Pasal 110A dan 110B Undang-Undang Cipta Kerja yang memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk memperoleh legalitas dengan membayar denda administratif. Namun, Kejagung menduga ada praktik pemerasan yang dilakukan oknum KLHK kepada pengusaha yang mengajukan pemutihan.
“Ada indikasi perbuatan melawan hukum. Seharusnya cukup dikenai sanksi administratif, tapi dipersulit demi keuntungan pribadi,” kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Ardiansyah.
Dalam proses pemutihan, KLHK menerbitkan dua aturan berbeda terkait besaran denda administratif, yaitu SK Menteri LHK Nomor 661 Tahun 2023 dan SK Nomor 1170 Tahun 2023. SK 661 menggunakan tarif tunggal, sedangkan SK 1170 menerapkan denda yang lebih besar dengan memperhitungkan eksploitasi kekayaan alam lainnya.
Kejagung menduga pemilihan aturan ini menjadi celah permainan untuk memeras perusahaan sawit. “Kami memilah mana yang murni pelanggaran administratif dan mana yang masuk ranah pidana. Jangan sampai ada pengusaha yang diperas, tapi juga tidak boleh ada yang lolos dari kewajiban membayar hak negara,” ujar Febrie.
Kasus ini diperkirakan akan menjadi salah satu skandal korupsi terbesar di sektor sawit dengan potensi menyeret pejabat lintas kementerian dan pengusaha besar. Kejagung berjanji akan menuntaskan kasus ini tanpa menghambat kepastian hukum bagi pelaku usaha. (VK1)