JAKARTA – Penerapan tarif impor baru ke Amerika Serikat yang diumumkan Presiden Donald Trump pada Rabu (2/4/2025), bakal memicu gejolak pasar dunia, termasuk Indonesia. Sektor penting dari dalam negeri seperti sawit dan karet bakal terpukul.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memprediksi potensi stagnasi ekspor minyak kelapa sawit ke AS. Ketua Umum Gapki, Eddy Martono, menyebut ekspor sawit ke AS selama ini terus naik dalam lima tahun terakhir dari semula di bawah 1 juta ton per tahun hingga kini di atas 1 juta.
Imbas tarif 32 persen ke Indonesia, ekspor minyak sawit diprediksi akan stagnan. “Tahun 2024 ekspor minyak sawit ke US sebesar 2,2 juta ton. Paling tidak akan terjadi stagnasi besaran ekspor ke US,” kata Eddy kepada wartawan, Jumat (4/4/2025).
Eddy menjelaskan, tak semua produk minyak sawit bisa digantikan minyak nabati lain. Misalnya, margarin tidak bisa dibuat dari minyak kedelai karena secara kesehatan justru dilarang sebab dapat menyebabkan kanker.
Demikian beberapa produk dari oleo chemical minyak sawit juga tidak bisa digantikan minyak nabati lain. Artinya, kata Eddy, jika minyak sawit tetap dibutuhkan maka yang akan dirugikan sebetulnya konsumen AS.
Meski begitu, Eddy mengatakan pihaknya tetap akan mencari alternatif pasar lain di luar AS imbas kebijakan Trump. “Strategi yang dilakukan adalah selain penurunan beban di dalam negeri seperti Domestic Market Obligation (DMO), Persetujuan Ekspor (PE), dan Bea Keluar (BK), juga harus dicari alternatif pasar yang lain,” ujarnya.
Per 2 April lalu, AS resmi memberlakukan tarif dasar 10 persen plus tambahan 32 persen untuk Indonesia. Ekspor Indonesia ke AS tahun lalu mencapai $US31 miliar (sekitar Rp500 triliun), dengan produk utama seperti alas kaki, tekstil, minyak nabati, dan alat listrik.
Ekonom INDEF Eisha Maghfiruha Rachbini menegaskan, tarif tinggi yang ditetapkan AS akan menyebabkan trade diversion. Pasar yang sebelumnya berbiaya rendah menjadi lebih mahal.
“Akibatnya, industri yang bergantung pada ekspor ke AS akan menghadapi biaya tinggi, produksi melambat, dan lapangan kerja terancam,” kata Eisha.
Eisha meminta pemerintah segera melakukan diplomasi perdagangan agar dampak kebijakan ini bisa diminimalkan. Langkah konkret berupa negosiasi bilateral dengan AS menjadi hal yang sangat mendesak untuk memastikan keberlanjutan ekspor produk unggulan Indonesia.
“Pemerintah harus mengoptimalkan perjanjian dagang bilateral dan multilateral seperti CEPA, serta menjajaki kerja sama dengan negara-negara non-tradisional untuk mencari pasar alternatif bagi karet, sawit, dan produk perikanan. Tanpa langkah ini, pelaku usaha di sektor-sektor ini akan semakin tertekan,” tambahnya.
Selain diplomasi dagang, kebijakan domestik juga perlu disiapkan untuk meredam dampak tarif AS. Pemerintah perlu mempertimbangkan insentif keuangan, subsidi, serta keringanan pajak bagi pelaku usaha yang terdampak. Langkah ini penting agar sektor ekspor tidak mengalami kontraksi tajam.
“Tak hanya solusi jangka pendek, pemerintah juga harus mendorong investasi dalam teknologi dan inovasi, serta meningkatkan keterampilan tenaga kerja untuk menjaga daya saing produk Indonesia di pasar global,” ujar Eisha.
Dengan ancaman perang dagang yang semakin nyata, respons cepat dari pemerintah menjadi kunci untuk melindungi sektor karet, sawit, dan perikanan dari dampak kebijakan proteksionis AS.
Ada 10 produk ekspor RI ke AS berpotensi paling terdampak kebijakan tarif Trump. Yakni, mesin dan perlengkapan elektrik, pakaian dan aksesorinya (rajutan), alas kaki, pakaian dan aksesorinya (bukan rajutan), lemak dan minyak hewani/nabati, karet dan barang dari karet, perabotan dan alat penerangan, ikan dan udang, mesin dan peralatan mekanis, serta olahan dari daging dan ikan. (VK1)