TAMIANG LAYANG – Perusahaan besar swasta (PBS) perkebunan kelapa sawit PT Ketapang Subur Lestari (KSL), yang membuka lahan di tiga kecamatan, Awang, Patangkep Tutui, dan Dusun Timur, Kabupaten Barito Timur (Bartim), Kalimantan Tengah (Kalteng), masih belum memenuhi kewajiban plasma.
Padahal, anak usaha dari perusahaan raksasa Group CAA ini, sudah berinvestasi di daerah itu sejak tahun 2011 atau 14 tahun yang lalu. Lokasi PT KSL sebelumnya milik PT Sandabi Indah Lestari (SIL), perusahaan perkebunan karet, dengan luasan 5.366,12 hektare.
Namun pada 2011, lahan PT SIL dialihkan kepada PT KSL berdasarkan izin balik nama Nomor 366 tahun 2011 yang diterbitkan Bupati Bartim saat itu.
Berdasarkan hasil investigasi lapangan, PT KSL hingga tahun 2025 belum memberikan plasma 20 persen dari luasan Hak Guna Usaha (HGU) kepada masyarakat sekitar lokasi perusahaan.
Padahal, perusahaan wajib memberikan lahan plasma. Ini sesuai ketentuan Undang-undang Perkebunan Nomor 39 tahun 2014, Undang-undang Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020, serta Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 26 Tahun 2007 dan Permentan Nomor 98 Tahun 2013.
Menanggapi lalainya PT KSL, Bupati Bartim M Yamin mengatakan akan mengevaluasi perizinan perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban plasma. Bupati mengingatkan perusahaan yang berinvestasi di Bartim, termasuk PT KSL, agar tidak mengabaikan peraturan hukum.
“Dalam waktu dekat, Pemkab Bartim akan mengevaluasi perizinan perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban plasma,” kata M Yamin saat dihubungi wartawan via telepon, Senin (19/5/2025).
Kewajiban plasma ini juga sebelumnya sudah diingatkan Gubernur Kalteng Agustiar Sabran. Gubernur menegaskan pentingnya perusahaan besar kelapa sawit membangun kemitraan inti plasma, untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat sekitar.
Perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban plasma 20 persen dapat disanksi, termasuk evaluasi perizinan.
Pembangkangan perusahaan sawit dalam memenuhi kewajiban plasma, sudah berkali-kali disoroti. Bahkan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid, pada bulan April 2025 memberikan ultimatum dan menegaskan komitmennya menindak tegas perusahaan pemegang HGU yang tidak memenuhi kewajiban menyediakan kebun plasma.
Ia menyebut masih banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mengelak dari tanggung jawab tersebut dengan alasan bahwa lahan plasma harus dicari di luar area HGU. Padahal, menurut Nusron, ketentuan jelas menyebutkan bahwa plasma merupakan bagian dari HGU.
“Kalau ada perusahaan yang nggak mau Plasma, akan kami tegur. Dan kalau nggak nurut juga, akan kami cabut HGU-nya. Ini aturan, bukan tawar-menawar,” tegas Nusron, 24 April 2025 lalu. (Yus/VK8)


